Senin, 24 Oktober 2011

PERMASALAHAN SYI’AH… (2)

@ TANGAN LURUS DALAM SHALAT
Tuduhan:
Tangan lurus ketika berdiri shalat adalah salah satu bid’ah ciptaan Syiah.  
Jawaban
            Kedua tangan lurus pada waktu berdiri dalam shalat disebut irsâl; sedangkan posisi tangan kanan diatas tangan kiri disebut takattuf, bersedekap. Semua mazhab dalam Islam sepakat tentang tidak adanya kewajiban untuk takattuf. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal tidak wajibnya itu. Kelompok pertama berpendapat bahwa takattuf itu hukumnya sunnah (mustahabbah) pada shalat wajib dan shalat sunnah. Inilah pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali. Menurut al-Nawawi, ini juga pendapat Abu Hurairah, ‘Aisyah, dan sahabat-sahabat lainnya. Seperti ini juga sejumlah tabi’in seperti Sa’id bin Jubayr,  Al-Nakh’i, dan Abu Mujallad. Sealiran dengan ini juga sejumlah fuqaha seperti Sufyan, Ishaq, Abu Tsawr, Dawud dan Jumhur ulama (al-Majmu’ 3:313).
            Kelompok kedua menetapkan boleh (mubah) dalam shalat sunnah, tetapi makruh dalam shalat wajib. Ibn Rusyd meriwayatkan pendapat ini dari Imam Malik (Biyadat al-Mujtahid, 1:137). Menurut al-Nawawi, dari riwayat Abd al-Hakim, Malik menyuruh takattuf; tapi dari riwayat Ibn Qasim, pendapat Malik itu irsâl. Dan inilah yang lebih terkenal (Al-Majmu’, 3:312). Sayyid Muetadha melaporkan dari Malik dan Al-Layts bahwa keduanya berpendapat boleh takattuf karena lamanya berdiri dalam shalat sunnah (Al-Intishar 140).
            Kelompok ketiga menetapkan boleh memilih antara takattuf dan irsâl. Menurut al-Nawawi, inilah pendapat Al-Awza’i. kelompok keempat menetapkan batalnya shalat karena bersedekap. Inilah kesepakatan ulama mazhab Ahlulbait as. Menurut al-Nawawi, Abdullah bin al-Zubayr, Al-Hasan al-Bashri, al-Nakh’i, Ibn Sirin semuanya melarang bersedekap (takattuf) dan menyuruh irsâl.

Berikut ini adalah alasan-alasan Syiah tentang wajibnya irsâl:
Hadis-hadis tentang takattuf.
            Pertama, hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Hazim, dari Sahl bin Sa’ad. Ia berkata; orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan diatas siku tangan kirinya dalam shalat. Kata Hazim; Aku tidak kecuali menisbahkan kepada Nabi saw (Ibn Hajar, Syarh Shahih al-Bukhari 2:224). Kata Ismail, guru Al-Bukhari: “yunmâ dzâlika” (dinisbahkan demikian) dan bukan “yanmi dzâlika” (menisbahkan demikian).
            Ketika Sahl berkata “orang-orang diperintahkan”, kita bertanya siapa yang diperintahkan? Nabi saw atau sahabat-sahabat lainnya? Menurut Ismail, ia dinisbahkan saja kepada Nabi saw. Ibn Hajar mengatakan bahwa kalau sahabat berkata begitu, pastilah yang memerintahkannya adalah Nabi saw. Pertanyaan berikutnya ialah mengapa para sahabat “menyembunyikan” Nabi saw, padahal untuk menjelaskan perintah syara’, mereka pasti lebih terhormat dan lebih meyakinkan kalau mereka berkata: Nabi saw memerintahkan kami. Mereka akan lebih bangga mengatakan apa yang didengarnya langsung dari Nabi saw. Kata Al-Suyuthi: “Para sahabat tidak memastikan itu dari Rasulullah saw karena kehati-hatiannya” (Tadrib al-Rawi 119) Artinya, kuatir bahwa perintah itu bukan berasal dari Nabi saw, walaupun mereka yakin itu dari Nabi saw.
            Menurut Ushul Fiqh, kata “diperintahkan” itu bersifat mujmal. Karena itu menisbahkannya kepada Nabi saw memerlukan dalil lainnya, supaya bisa dijadikan hujjah. Abu Hazim tidak menjelaskan dalilnya. Karena itu, hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis lain yang lebih banyak tentang cara shalat Nabi saw (seperti yang akan disampaikan dibawah). Jika kita memperhatikan hadis Muslim  tentang takattuf, Nabi saw melakukannya bukan karena itu sunnah tetapi karena Nabi saw ingin merapatkan pakaiannya ke tubuhnya.
            Kedua, hadis yang diriwayatkan Muslim dari Wa-il bin Hujur: Ia melihat Nabi saw mengangkat tangannya bertakbir ketika memasuki shalat. Kemudian ia menutupkan pakaiannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ketika ia mau melakukan ruku’ ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya. Kemudian ia mengangkat tangannya untuk bertakbir dan ruku’ (Muslim, 1:382, Bab 5, Kitab al-Shalat).
            Dalam pengertian hadis ini, Nabi saw mengambil ujung-ujung pakaiannya dan menutupkannya ke dadanya. Jadi tangan beliau yang kiri mengambil ujung baju sebelah kiri dan menutupkannya pada tangan sebelah kiri yang memegang ujung pakaiannya juga. Beliau melakukannya karena pertimbangan praktis untuk merapatkan pakaian ke badannya karena kedinginan atau sebab-sebab lainnya.
            Tapi jelas dari masalah penafsiran, dalam sanad hadis Muslim ini ada Hamam. Jika yang dimaksud adalah Hamam bin Yahya, maka Yahya bin al-Qaththan meremehkan hadisnya. Yahya bin Sa’id tidak mau menerima kebanyakan hadis Hamam (Huda al-Sari 1:267). Walaupun Abu Hatim menganggap dia “tsiqat” (terpercaya), dalam kaidah ilmu hadis “yang mencela didahulukan daripada yang memuji”.
            Ketika men-takhrij hadis yang bersumber dari Wa-il bin Hujur, dalam Sunan al-Baihaqi kita menemukan tiga jalan. Pertama melewati Hammam. Kedua melewati Abdullah bin Ja’far. Abdullah bin Ja’far adalah Ibn Najih menurut Ibn Mu’in: laysa bi sya’i. Menurut Al-Nasa’i: ditinggalkan (matruk). Waki’ bila menemukan hadisnya, mengecamnya dan mengatakan bahwa orang sudah sepakat tentang kedho’ifannya (Tahdzib al-Tahdzib 5:174). Ketiga melewati Abdullah bin Raja-I, yang menurut ‘Amr bin ali al-Falas: Ia banyak sekali salahnya dan tashhif (mengubah-ubah kalimat). Bukan Hujjah (huda al-Sari 1:437).
            Ketiga, hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Mas’ud: Ia biasa shalat dengan meletakkan tangan kirinya diatas tangan kanannya. Kemudian ia melihat Nabi saw meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya (Sunan al-Baihaqi 2:44, hadis 2327).
            Kita mengetahui bahwa Abdullah bin Mas’ud termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam. Ia mendapat gelar “orang yang pertama membacakan Al-Qur’an kepada orang kafir setelah Rasulullah saw”. Sangat mengherankan bahwa ia baru belakangan melihat Nabi saw meletakkan tangankanannya diatas tangan kirinya. Tapi di luar masalah penafsiran makna, hadis ini dha’if  karena dalam sanadnya ada Hasyim bin Basyir, yang terkenal melakukan tadlis.
            Marilah kit abaca kembali hadis tentang tatacara Rasulullah saw shalat. Dalam hadis yang dibenarkan oleh para sahabat itu dijelaskan sangat terinci cara shalat Nabi saw. Disitu tidak ada ketentuan dimana harus meletakkan tangan. Tangan seperti anggota badan lainnya, setelah takbir kembali ke tempatnya semula. “… dan ia bertakbir sampai semua anggota badannya menetap pada tempatnya yang tepat” – hatta yaqirra kullu ‘udhwin minhu fi mawadhi’ihi mu’tadilan.
            Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid 1:137 menyatakan: Telah datang riwayat-riwayat kokoh yang meriwayatkan sifat shalat Nabi saw dan tidak diriwayatkan di dalamnya bahwa ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya… dan orang-orang berpendapat bahwa yang wajib itu ialah kembali kepada riwayat-riwayat tersebut yang tidak ada penambahan ini (ketentuan tentang letak tangan), karena riwayat-riwayat tersebut lebih banyak…”

@QUNUT PADA SETIAP SHALAT
Tuduhan:
Di anytara bid’ah yang dilakukan Syiah ialah selalu membaca qunut pada setiap shalat. Qunut dibaca sebelum ruku’.  
Jawaban
            “Di sunnatkan qunut dalam shalat, tetapi para fuqaha berbeda pendapat tentang shalat yang dibacakan di dalamnya qunut. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali: Qunut dilakukan dalam shalat witir sebelum ruku’, menurut Hanafiyyah, sesudah ruku’ menurut Hambali, dan tidak tidak ada ruku’ pada shalat-shalat yang lainnya. Menurut Maliki dan Syafi’i: Qunut dilakukan dalam shalat Subuh sesudah ruku’, tetapi yang afdhal menurut Maliki sebellum ruku’. Menurut Malik dimakruhkan qunut dalam shalat selain Subuh. Disunnahkan juga — menurut Hanafi, Syafi’i, Hambali – qunut pada semua shalat wajib ketika terjadi bencana (nazilah). Tetapi Hambali membatasinya hanya pada shalat Subuh, dan Hanafi membatasinya pada shalat jahar ghrib, Isya, dan subuh)” (Dr. Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1:809).
            Dalam mazhab Ahllulbait as, qunut disunnahkan dibaca pada setiap shalat, baik yang wajib maupun yang sunnah, pada rakaat kedua sebelum ruku’. Mereka berpegang pada perintah al-Qur’an – wa quumu lillahi qaanitiin” Berdirilah untuk Allah dalam keadaan qunut (Al-Baqarah 238) dan hadis dari Imam Musa al-Kadzim as (Al-Tahdzib 2:89; Al-Istibshar 1:338; al-Rasa-il 4:900).
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua fuqaha dari mazhab apa pun sepakat bahwa qunut itu adalah Sunnah Nabi saw. Mereka hanya tidak sepakat mengenali perincian pelaksanaan qunut saja.
            Dibawah ini alas an-alasan (dalil-dalil) yang diambil dari kitab-kitab hadis Ahlussunnah tentang qunut pada setiap shalat dan qunut sebelum ruku’ :
            Qunut pada setiap shalat: Nabi saw pernah qunut satu bulan mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup kemudian meninggalkannya (Muslim 1:466 hadis 675). Semua sepakat bahwa Nabi saw melakukan qunut  pada setiap shalatnya. Ada keterangan bahwa Nabi saw tidak henti-hentinya melakukan qunut pada waktu Subuh sampai meninggal dunia (Sunan Al-Daruquthni 2:39, hadis 9; Sunan al-Baihaqi 2:198); dan ada keterangan juga bahwa ia selalu qunut pada shalat Maghrib (Al-Bukhari ?:?; Sunan al-Baihaqi 2:245). Jadi artinya para sahabat melaporkan qunut Nabi saw bukan hanya shalat Subuh saja. Mereka melaporkan qunut pada Maghrib dan juga pada witir. Dalam hadis dari al-Barra bin Azib diberitakan bahwa “Setiap kali Rasulullah saw shalat yang difardhukan ia selalu qunut di dalamnya” (Sunan al-Daruquthi 2:37, hadis 4).

Qunut sebelum ruku’
            Dari ‘Ashim: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut dan ia berkata: Qunut ada pada (zaman) Rasulullah saw. Aku Tanya: Sebelum atau sesudah ruku’? Ia menjawab: Sebelum ruku’. Aku berkata: Tetapi Fulan memberitahukan kepadaku bahwa engkau berkata sesudah ruku’. Anas berkata: Bohong! Karena Rasulullah saw hanya qunut sesudah ruku’ satu bulan sekali saja (Al-Bukhari 2:14, Bab al-Qunut qabla al-Ruku’ wa ba’duhu). Dalam Muslim, ketika anas ditanya tentang qunut sebelum atau sesudah ruku’, ia menjawab “sebelum ruku’”. Kata ‘Ashim: Tetapi orang-orang mengira bahwa Rasulullah saw berqunut sesudah ruku’ (Muslim, Kitab al-Masajid, hadis 301).

Catatan (JR)
            Sekiranya qunut itu hanya boleh dibacakan pada setiap shalat ketika turun musibah atau bencana (qunut Nazilah), maka orang  Syiah akan tetap menjalankan qunut. Musibah apa lagi yang lebih besar dari perpecahan di antara kaum muslimin, ketika satu kelompok mazhab menyerang kelompok mazhab yang lain. Tengoklah suasana kaum muslimin di dunia sekarang ini. Musibah apa lagi yang lebih besar dari pada pembantaian yang dilakukan Negara-negara adikuasa pada kaum muslimin. []

0 komentar:

Posting Komentar