Kamis, 20 Oktober 2011

Ketika itu... (20)

(M. Ahmad)


Hamba adalah manusia yang hina dimata

Tak patut tuk dipuja-puja

Izinkanlah hamba tuk hidup apa adanya

Laksana air mengalir dari ruasnya



Apalah arti hidup hamba ini

Hidup hanya untuk mengabdi

Tak ada keluh kesah dalam hati

Bagaikan jantung berdetak tiada henti



Biarkanlah hamba memuja

Sesuatu yang amat berharga

Lewat tulisan-tulisan yang bermakna

Mewarnai sejarah pada zamannya



Wahai fulan yang jauh disana

Dengarkanlah suara sukma raga dunia

Membawa insan kamil tuk siaga
Menerina takdir dalam hidupnya

Ketika itu... (19)

(M. Ahmad)


Kala sang surya bersinar dengan terangnya

Menyinari seluruh permukaan bumi

Hawa panas menusuk sampai kedalam hati

Terbakar hingga tak sadarkan diri



Sang surya mulai redup akan sinarnya

Muncul awan hitam di sekelilingnnya

Petir dan guntur berdendang silih berganti

Hujan turun bak peluru nyasar tak terkendali

Membasahi seluruh alam semesta

Yang berwujud kering dan tandus



Saat hujan gerimis merajalela

Hati fulan sedang berlinangan air mata 

Jatuh disetiap ruas-ruas pipinya

Seakan-akan hujan mengerti apa isi hatinya 



Wahai fulan yang bersedih hati

Luapan air matamu laksana permata

Yang teramat mahal harganya

Hapuslah air matamu, dan berdirilah !

Gapailah semua angan dalam hidupmu

Carilah yang terbaik tuk masa depanmu…

Ketika itu... (18)

(M. Ahmad)


Ketika namamu terucap dalam lisanku

Ku tulis dalam bait-bait nafas cintaku

Terukir dalam irama detak jantungku

Mengalir dalam gelombang rindu kalbuku



Dalam kata-kata tersimpan makna

Dalam nada-nada terdapat irama

Dalam hatiku tumbuh subur namamu

Yang hingga kini slalu aku rindu



Dalam deretan nama

Aku puja-puja dalam nada

Makna yang terkandung dalam jiwa

Tercurah dalam raga nan jaya



Tiada hari tanpa namamu

Tiada arah tanpa raut wajahmu

Dirimu hadir dalam anganku

Menemani dalam setiap kerinduanku

Fiqih Lima Mazhab… (1)

(Dalam Kajian Shalat)

            Seluruh umat Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan Syahadat, karena ini termasuk salah satu rukun Islam. Shalat dibagi pada shalat wajib dan sunnah. Dan kewajiban menegakkan shalat berdasarkan ketetapan agama, dan tidak mempunyai tempat untuk di analisa serta ijtihad dalam masalah ini, dan tidak pula taqlid.
            Para Ulama Mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia yakin (iman) bahwa shalat itu wajib.
            Syafi’i, Maliki, Hambali : Harus dibunuh.
            Hanafi : Ia harus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat.
            Imamiyah : Setiap orang yang meninggalkan yang wajib, seperti shalat, zakat, membayar khumus, haji, dan puasa, maka bagi hakim (pemerintah) yang melihatnya harus mendidiknya kalau ia patuh (mau mengikutinya). Bila tidak, herus mendidiknya lagi. Bila tidak lagi, sang hakim (pemerintah) harus mendidiknya lagi. Bila tidak mau terus-menerus, ia harus dibunuh pada keempat kalinya. (Kasyful ‘Ghita’, karya Al Syekh Al Kabir, halaman 79, cetakan tahun 1317 H).

Shalat-shalat Sunnah Rawatib
            Shalat yang disunnahkan banyak macamnya, diantaranya adalah shalat-shalat rawatib sehari-hari. Ulama mazhab, berbeda pendapat tentang jumlah banyaknya rakaat.
            Syafi’i : Sebelas rakaat: Dua rakaat, sebelum Subuh, dan  dua rakaat sebelum Dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya. Dua rakat setelah Maghrib, dan dua rakaat setelah shalat Isya’ dan satu rakaat shalat witir.
            Hambali : Sepuluh rakaat, yaitu: dua rakaat sebelum dan sesudah shalat Dzuhur, dua rakaat setelah shalat Maghrib, dua rakaat setelah Isya’, dan dua rakaat sebelum shalat Subuh.
            Maliki : Untuk shalat-shalat sunnah rawatib tidak ada batas tertentu  dan tidak pula jumlah khusus, hanya yang paling utama adalah Maghrib.
            Hanafi : Shalat rawatib itu dibagi kepada sunnah masnuunah dan manduubah. Shalat masnuunah ada lima shalat, yaitu: Dua rakaat sebelum Subuh, empat rakaat sebelum Dzuhur, dan dua rakaat setelahnya, selain hari hari Jum’at, dua rakaat setelah Maghrib, dan empat rakaat setelah Isya’.
            Sedangkan shalat-shalat yang manduubah ada empat shalat, yaitu: Empat rakaat sebelum Ashar, dan kalau mau dua rakaat, enam rakaat setelah Maghrib, empat rakaat sebelum Isya’, dan empat rakaat setelahnya.
           Imamiyah : Shalat rawatib itu setiap hari ada tiga puluh empat rakaat, yaitu: Delapan rakaat sebelum Dzuhur, delapan rakaat sebelum Ashar, empat rakaat sesudah Maghrib, dan dua rakaat sesudah Isya’. Tetapi dua rakaat yang terakhir ini (dua rakaat setelah Isya’) dilakukan sambil duduk, dan ia dihitung satu rakaat serta dinamakan shalat witir, dan delapan rakaat shalat malam, dua rakaat untuk memminta syafa’at, satu rakaat untuk witir, dan dua rakaat untuk shalat Subuh. Dan shalat ini dinamakan shalat Fajar.

Waktunya Dua Dzuhur (Dzuhur dan Ashar)
            Para ahli fiqih melalui memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan), kemudian setelah itu difardhukan shalat Ashar, kemudian shalat Maghrib, lalu Isya, kemudian shalat Subuh secara tertib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada malam Isra’ setelah sembilan tahun dari diutusnya Rasulullah, berdasarkan firman Allah:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan subuh. Sesungguhnya shalat subuh disaksikan (oleh Malaikat)”. (QS. Al-Isra: 78).
            Para Ulama Mazhab sepakat bahwa shalat itu tidak boleh didirikan sebelum masuk waktunya, dan juga sepakat bahwa apabila matahari telah tergelincir berarti waktu Dzuhur telah masuk, hanya mereka berbeda pendapat tentang batas waktu ketentuan ini dan sampai kapan waktu shalat itu berakhir.
            Imamiyah : Waktu Dzuhur itu hanya khusus dari setelah tergelincirnya Matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, dan waktu Ashar juga khusus dari akhir waktu siang sampai diperkirakan dapat melaksakannya. Dan antara yang  pertama dan terakhir itu ada waktu musytarak (menggabungkan) antara dua shalat (Dzuhur dan Ashar). _ di antara para Ulama Mazhab ada yang setujudengan Imamiyah yang menyatakan boleh melakukan jamak bagi orang mikim (bukan musafir). Syekh Ahmad Shadiq Al Ghimari telah mengarang buku “Izalatul Khatar ‘Amman Jama’a Baina Al Shalaataini fi Al hadhar” yang juga menjelaskan hal tersebut _ Dengan dasar inilah Imamiyah membolehkan melakukan jamak (mengumpulkan) antara Dzuhur dan ashar, yaitu pada waktu musytarak  (penggabungan). Apabila waktunya telah sempit dan sisa waktunya hanya cukup untuk mendirikan shalat Dzuhur saja, maka boleh mendahulukan shalat Ashar dari shalat Dzuhur, kemudian shalat Dzuhur pada waktu terakhir dengan Qadha’.
            Empat Mazhab : Waktu Dzuhur dimulai dari tergelincirnya matahari sampai baying-bayang sesuatu itu sama (panjangnya). Apabila lebih, walau hanya sedikit, berarti waktu Dzuhur telah habis. 
            Tetapi Syafi’i dan Maliki : batasan ini hanya berlaku khusus bagi orang yang memilihnya, sedangkan bagi orang yang terpaksa, maka waktu Dzuhur itu sampai baying-bayang sesuati (benda) lebih panjang dari benda tersebut.
            Imamiyah : Ukuran panjangnya baying-bayang sesuatu sampai sama dengan panjang benda tersebut adalah merupakan waktu Dzuhur yang paling utama. Dan kalau ukuran bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut adalah merupakan waktu ashar yang utama.
            Hanafi dan Syafi’i : Waktu Ashar dimulai dari lebihnya baying-bayang sesuatu (dalam ukuran panjang) dengan benda tersebut sampai terbenamnya matahari.
            Maliki : Ashar mempunyai dua waktu. Yang pertama dimulai dari lebihnya (dalam ukuran panjang) baying-bayang suatu benda dengan benda tersebut sampai kuningnya matahari, sedangkan yang kedua yaitu dari sinar matahari kekuning-kuningan sampai terbenamnya matahari.
            Hambali : Yang termasuk paling akhirnya waktu shalat Ashar adalah sampai baying-bayang sesuatu itu lebih panjang dua kali dari panjang benda itu sendiri, dan pada saat itu boleh mendirikan shalat Ashar sampai terbenamnya matahari. Hanya orang yang shalat pada saat itu tetap dosa dan diharamkan sampai mengakhirkannya pada waktu tersebut. Mazhab-mazhab yang lain tidak sependapat dengan pendapat ini.

Waktunya Dua Isya’
            Syafi’i dan Hambali (berdasarkan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) : Waktu Maghrib dimulai dari hilangnya sinar matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya merah di arah barat.
            Maliki : Sesungguhnya waktu Maghrib sempit. Ia hanya khusuh dari awal tenggelamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakan shalat Maghrib itu. Yang termasuk didalamnya cukup untuk bersuci dan adzan, dan tidak boleh mengakhirkannya (mengundurkan) diri waktu ini bagi orang yang memilihnya, sedangkan bagi yang terpaksa, maka dari waktu Maghrib sampai terbitnya fajar, hanya tidak boleh mengakhirkan waktu Maghrib dari awal waktunya. Ini hanya pendapat Maliki saja.
            Imamiyah : Waktu shalat Maghrib hanya khusush dari awal waktu terbenamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, sedangkan waktu Isya’, hanya khusus dari akhir separuh malam pada bagian pertama (kalau malam itu dibagi dua) sampai diperkirakan dapat melaksanakannya. Di antara dua waktu tersebut adalah waktu musytarak (penggabungan) antara shalat Maghrib dan Isya’. Maka dari itu, mereka (Imamiyah) membolehkan melakukan shalat jamak pada waktu musytarak ini.
            Keterangan diatas kalau dihubungkan dengan orang yang memilih, tapi kalau bagi orang yang terpaksa baik karena tidur atau lupa, maka waktu dua shalat tersebut sampai pada terbitnya fajar, hanya waktu shalat Isya’ khusus diakhir waktu malam sampai diperkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakannya saja, dan waktu shalat Maghrib khusus dari bagian pertama dari separuh malam bagian kedua sampai diperkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakan saja.

Waktu Subuh
            Waktu Subuh yaitu dari terbitnya fajar sampai terbitnya matahari, menurut kesepakatan semua Ulama Mazhab, kecuali Maliki.
            Maliki : Waktu subuh ada dua; pertama adalah ihtiyari (memilih); yaitu dari terbitnya fajar sampai terlihatnya wajah; sedangkan kedua adalah idhtirari (terpaksa), yaitu dari terlihatnya wajah sampai terbitnya matahari.

Shalat Jum’at
I           Kewajiban Shalat Jum’at
            Menurut ijma’ kaum Muslimin, shalat Jum’at hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk shalat (mendengar azdan) pada hari Jum’at, maka hendaklah kamu segera mengingat Allah (shalat jum’at) dan tinggalkanlah jual-beli”. (QS. al Jumu’ah: 9).
            Juga berdasarkan pada hadits-hadits mutawatir, baik dari Ahlus Sunnah maupun dari Syi’ah.
            Perbedaan pendapat mereka dalam hal: apakah syarat kewajiban shalat Jum’at itu berkaitan dengan adanya sultan, atau wakilnya, atau ia wajib dalam segala keadaan?
            Hanafi dan Imamiyah mengatakan: sidyaratkan adanya sultan atau wakilnya, dan menjadi gugur dengan ketiadaan salah seorang dari mereka.
            Selain itu, Imamiyah menambahkan syarat lainnya, yaitu keadilan sultan, kalau tidak maka keberadaannya itu sama dengan ketiadaannya. Sedangkan Hanafi, hanya mensyaratkan keberadaan sultan sekalipun tidak adil.
            Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali tidak menganggap perlu adanya sultan.
            Dan kebanyakan ulama Imamiyah menyatakan, jika sultan atau wakilnya tidak ada, tetapi ada fiqih (ahli fiqih) yang adil, maka boleh dipilih antara mengerjakan shalat Dzuhur dan shalat Jum’at, walaupun lebih dianjurkan mengerjakan shalat Jum’at.

II         Syarat shalat Jum’at
           Seluruh ulama sepakat bahwa syarat-syarat shalat Jum’at itu sama dengan syarat-syarat shalat pada umumnya, seperti bersuci, menutup aurat, dan menghadap kiblat. Dan waktunya dari mulai tergelincirnya matahari sampai bayangan segala sesuatu sama panjangnya. Dan ia boleh didirika didalam masjid atau tempat lainnya, kecuali mazhab Maliki , mereka menyatakan bahwa sha;lat Jum’at itu tidak sah kecuali bila dikerjakan didalam masjid.
            Dan seluruh ulama sepakat bahwa shalat Jum’at itu diwajibkan atas laki-laki saja, sedang perempuan tidak. Dan jadi gugurlah kewajiban shalat Dzuhur daripadanya. Dan bahwa shalat Jum’at itu tidak diwajibkan atas orang buta, dan tidak sah kecuali dengan berjama’ah.
            Dalam hal jumlah jama’ah shalat Jum’at ini terdapat perselisihan pendapat:
            Maliki: sekurang-kurangnya 12 oranng selain imam.
            Imamiyah: sekurang-kurangnya 4 orang selain imam.
            Syafi’i dan Hambali: sekurang-kurangnya 40 orang selain imam.
            Hanafi: 5 orang, dan sebagian ulama mereka yang lain mengatakan 7 orang.
            Mereka sepakat tidak boleh bepergian pada hari Jum’at, dan telah cukup syarat-syaratnya, sesudah tergelincir matahari, sebelum ia selesai mengerjakan shalat Jum’at tersebut. Kecuali mazhab Hanafi, mereka menyatakan boleh.

III        Dua Khutbah
            Seluruh ulama sepakat bahwa dua khutbah itu termasuk syarat sahnya shalat Jum’at. Letaknya adalah sebelum shalat, tapi sudah masuk waktu, bukan sebelumnya. Tetapi mereka berselisih pendapat dalam hal kewajiban berdiri ketika melakukan dua khutbah itu. Imamiyah, Syafi’i dan Maliki mengatakan: wajib. Sedang Hanafi dan Hambali mengatakan: tidak wajib.

IV        Tatacara shalat Jum’at
            Shalat Jum’at ada dua rakaat seperti shalat Subuh.
            Mazhab Imamiyah dan Syafi’i disunnahkan membaca surat al-Jumu’ah pada rakaat pertama, dan surat al-Munafiquun pada rakaat kedua. Masing-masing sesudah pembacaan al-Fatihah.
            Mazhab Maliki: sunnah membaca surat al-Jumu’ah pada rakaat pertama, dan surat al-Ghasyiyah pada rakaat kedua.
            Dan mazhab Hanafi: menyatakan makruh hukumnya menentukan pembacaan surat secara khusus. []

Dan Ibu Saya...

(cerita favorit 6) 

          Zakariya datang menemui Imam Ja’far Shadiq dan berkata, “Saya dahulu seorang Kristen dan kini telah menjadi Muslim. Al-qur’anlah yang telah meyakinkan saya.”
          Imam berkata kepada Zakariya, “Sesungguhnya Allah Swt yang membimbing engkau menjadi Muslim dan membuat hatimu bersinar dengan cahayaNya.”
          Zakariya berkata, “Namun orang tua saya bukan Muslim, wahai Imam!”
          Imam menjawab, “Perhatikanlah Ibumu! Berbuat baiklah dan sayangilah ia…!”
          Ketika kembali kerumah, dia sangat memperhatikan ibunya, bahkan lebih lembut dan saying kepadanya daripada sebelumnya.
          Sang ibu memperhatikan perubahan sikap putranya dan berkata, “Mengapa engkau begitu menghormatiku setelah menjadi seorang Muslim?”
          Zakariya menyampaikan perkataan Imam Ja’far Shadiq tersebut.
          Ibunya menjawab, “Wahai anakku! Agamamu lebih baik daripada agamaku. Bimbinglah aku agar bisa menjadi Muslim!”
          Zakariya mengajari ibunya dasar-dasaragama Islam dan sang ibu pun menjadi seorang Muslimah. Dia melaksanakan zuhur, asar, maghrib dan isya pada hari itu, sebagaimana yang telah diajarkan putranya, lalu wafat sebagai seorang Muslimah pada tengah malam itu juga. []