Senin, 24 Oktober 2011

Alam Mimpi

(cerita favorit 12)

            Dia hanya mempunyai satu keinginan, yaitu dapat melihat Nabi Muhammad saw dengan mata kepalanya sendiri. Seringkali dia melihat Nabi saw di dalam mimpi-mimpinya.
            Hari demi hari  terus berlalu dan seperti kecenderungan seekor unta yang sabar menunggu kedatangan tuannya, pikirannya selalu memikirkan Allah Swt.
            Madinah, kota yang diberkahi, tempat yang hendak ditujunya, sangatlah jauh jaraknya. Sementara itu, dia mempunyai ibu berusia lanjut yang mesti diperhatikan dan akan sedih bila berpisah dengan anaknya.
            Suatu hari, satu-satunya keinginannya diperbolehkan. Ibunya dapat merasakan keinginannya dan memintanya berjanji kepadanya bahwa kepergiannya hanya selama setengah hari. Maka, bagaikan seekor burung yang bebas, dengan riang dia pergi ke Madinah.
            Karena hasratnya yang menggebu-gebu hendak bertemu dengan Nabi saw, dia pun segera tiba di Madinah dan menanyakan jalan yang menuju rumah beliau saw.
            Dengan segera, dia sudah berada di depan pintu rumah kekasih hatinya. Persis seperti yang telah diajarkan kepadanya, dia pun mengetuk pintu sambil mengucapkan salam kepada orang yang berada di dalam rumah. Ummu Salamah menanyakan siapa dia sebenarnya!
            “Uways dari Qaran,” jawabnya.
            Ummu Salamah telah mendengar Nabi saw berbicara tentangnya. Namun, Nabi tidak berada dirumah dan tidak akan kembali dalam waktu singkat.
            Bayangan kesedihan terlihat pada wajah Uways. Dia tidak bisa tinggal lebih lama karena telah berjanji kepada ibunya. Dengan hati yang berat, dia pulang menuju Yaman.
            Ketika kembali dari perjalanannya, dengan kegembiraan seseorang yang telah menemukan sesuatu yang hilang, Nabi saw berkata, “Saya merasakan kehadiran sahabatku dari Qaran.”
            Nabi saw mendapati sahabatnya yang saleh telah terbukti sebagai Muslim yang sempurna, bersikap baik dan penuh perhatian kepada ibunya, dan memegang teguh janjinya-janjinya.
            Keduanya-Nabi saw dan Uways-tidak pernah bertemu lamngsung secara fisik. Walaupun begitu, Uways al-Qarani adalah salah seorang sahabat Nabi saw. Tempat pertemuan mereka berada di alam mimpi yang menakjubkan.
            Nabi saw berkata, “Engkau di Yaman tetapi dekat denganku. Engkau dekat denganku meskipun di Yaman.” []

Bayi di dalam peti kayu

(cerita favorit 11)

            Fir’aun sangat marah dan geram! Ahli nujumnya (seorang yang meramalkan peristiwa yang akan terjadi di masa depan) baru saja menyampaikan kepadanya bahwa seorang bayi akan dilahirkan menjadi raja Mesir dan mengambil alih kedudukan Fir’aun.
            Fir’aun member perintah kepada bala tentaranya untuk membunuh semua bayi yang terlahir di tanah Mesir.
            Ibunda Nabi Musa as merasa sangat cemas. Beliau akan segera melahirkan seorang bayi dan berdoa kepada Allah Swt agar melindungi keselamatan bayinya.
            Ketika Nabi Musa as lahir, ibundanya pergi ke tukang kayu dan meminta dibuatkan sebuah peti yang kedap air. Tukang kayu membuatkannya sebuah peti dari kayu dan diberi lapisan sehingga air tidak bisa merembes kedalam. Ibunda Musa meletakkan Nabi Musa as ke dalam peti dan membiarkannya terapung di sungai. Beliau tahu bahwa Allah akan melindungi keselamatan bayinya karena Dia telah kepadanya.
            Istri Fir’aun, Sayidah Asiya, menemukan peti kayu itu. Ketika membukanya, dia melihat seorang bayi yang paling cantik yang pernah ia lihat selama ini. Dia tidak memiliki anak dari dirinya sendiri lalu meminta Fir’aun agar dia dapat memelihara bayi itu seperti anaknya sendiri. Fir’aun menyetujuinya.
            Namun bayi itu tidak mau menyusu kepada siapapun.
            Saudara perempuan Nabi Musa as memperhatikan semua ini. Dia mendatangi Sayidah Asiya dan berkata bahwa dia mengenal seseorang yang mengetahui dengan baik seluk-beluk anak-anak. Sayidah Asiaya setuju untuk menghadirkan orang itu. Saudara perempuan Nabi Musa as kembali kepada ibunya dan membawanya kepada Sayidah Asiya. Begitu melihat ibundanya, Nabi Musa as langsung menyusu kepadanya. Sayidah asiya memintanya untuk merawat bayi itu.
            Allah telah menyelamatkan Nabi Musa as. Dia dibesarkan di istana Fir’aun dengan perawatan ibundanya sendiri. []

Gairah Pencinta

(Ayatullah Khomeini)
Alih bahasa/Penyusun: Yamani

Wahai, hati itu bukan hati sama sekali
Yang pada rupawanmu tak cinta
Wahai, sang bijak tak bestari
Yang pada tampanmu tak mendamba

Wahai, pencinta, hatinya gairah menyala
Sarwa gairah dalam anggurmu
Kalau bukan gairah belaka
Apa lagi yang hidup ini kandungi

Siapa campakkan daku di gurun
Cinta ‘lah padamu O, sahabatku
Tindak apa lagi dapat selamatkanku
Tak kunjunng tampak tepian gurun

Jika pencinta bergairah menyala
Sisikan ayo dirimu segera
Antaramu dan dia apa pun tiada
Hanya dinding diri-jumawa

Jika kau pelancong jalan-pencinta
Campakkan saj’dah campakkan jubah
Tiada pembimbing, hanya cinta
Dalam cinta kuyuplah andika

Jika memang pencinta-benar
Jangan jadi sufi zahid segala
Karena tak masuk lingkar-pencinta
Selain kumpulan pencinta saja

Kudamba main rambut-pilinnya
Apa yang buruk padanya apa yang bina
Satu sentuhan gila satu elusan liar pula
Kecuali kegilaan waras belaka?

Raib tanganku, dan lepaskan
Jiwaku dari kemunafikan jubah ini
Karena jubah ini bukan apa
Selain tempat berlindung si jahil

Ilmu dan ‘irfân sisihkan saja
Ke rumah anggur mereka tak bawa
Tapi di tempat istirah pencinta
Kepalsuan, pasangannya tiada

Kerumunan Pemabuk

(Ayatullah Khomeini)

Alih bahasa/Penyusun: Yamani



Di kumpulan sufi tak kutemukan 

Kelezatan yang kudambakan

Di biara tak terdengar

Musik yang cinta mencipta



Di madrasah tak bisa kubaca

Buku apa saja dari si sobat

Di menara sungguh susah ditemukan

Suara darinya untuk disimak



Dalam cinta-buku tak kulihat

Wajah cantik bertutup cadar

Dalam susastra-suci tak kudapat

Jejak-jejak sang nasib



Di rumah berhala sepanjang usia hamba

Dalam kecongkakan terhabiskan saja

Dalam perkumpulan sesama kulihat

Tak penawar tak juga lara



Lingkar pencinta kujelang musti

Pelipur lara mungkin disana

Dari kebun mawar sang kekasih

Sepoi angina tau sebentuk jejak



“Aku” dan “Kita” dari akal keduanya

Dialah tali untuk memintalnya

Dalam kerumunan para pemabuk

Tak ada “Aku” tak pula “Kita”

Hadis Kisa

(cerita favorit 10) 

            Nabi saw pada suatu hari pergi ke rumah putrinya, Sayidah Fathimah az-Zahra, dan meminta darinya sebuah kisâ-selimut panjang atau kain panjang yang berukuran besar.
            Sayidah Fathimah az-Zahra menyerahkan sebuah kisâ dan beliau menaungi dirinya dengan kisâ tersebut. Terdengar suara ketukan di pintu. Itu adalah putra Fathimah, Imam Hasan Mujtaba. Dia member salam kepada ibundanya dan kemudian berkata bahwa dia merasakan kehadiran kakeknya, Nabi Muhammad saw, di dalam rumah. Ibundanya berkata bahwa beliau saw sedang berada di bawah naungan kain kisâ.
            Imam Hasan Mujtaba pergi menemui kakeknya saw dan bertanya kepada beliau saw apakah dia boleh bergabung dengannya dibawah naungan kain kisâ dan Nabi saw membolehkannya. Kemudian Imam Husain mengetuk pintu dan member salam kepada ibundanya. Imam Husain pun berkata bahwa dia dapat merasakan kehadiran kakeknya saw di dalam rumah. Ibundanya berkata bahwa beliau saw sedang berada di bawah naungan kain kisâ dengan Imam Hasan.
            Imam Husain pergi menemui kakeknya saw dan bertanya kepadanya apakah dia boleh bergabung dengannya dibawah naungan kain kisâ . Nabi saw membolehkannya dan Imam Husain lalu bergabung dengannya dibawah naungan kain kisâ.
            Imam Ali Murtadha tak lama kemudian mengetuk pintu dan member salam kepada Sayidah Fathimah az-Zahra. Imam ali berkata bahwa beliau dapat merasakan kehadiran saudara sepupunya-Nabi Muhammad saw-di rumah ini. Sayidah Fathimah az-Zahra berkata bahwa Nabi saw bersama kedua putranya di bawah naungan kain kisâ. Imam Ali bertanya kepada Nabi saw apakah dia boleh bergabung dengan mereka. Nabi saw mempersilahkannya dan Imam Ali bergabung dengan mereka di bawah naungan kain kisâ.
            Sayidah Fathimah az-Zahra datang menemui mereka dan bertanya apakah dia boleh bergabung dengan mereka dibawah naungan kain kisâ. Nabi saw mempersilahkannya dan Fathimah pun bergabung bersama mereka di bawah naungan kain kisâ.
            Malaikat Jibril bertanya kepada allah Swt siapakah mereka yang berada dibawah naungan kain kisâ ? Allah Swt berkata bahwa mereka adalah Sayidah Fathimah az-Zahra, ayah beliau saw, suami beliau, dan kedua putranya.
            Jibril meminta izin dari Allah Swt untuk bergabung dengan mereka dan turun ke bumi untuk meminta dari Nabi saw. Beliau saw mengizinkannya. Jibril kemudian bergabung dengan mereka dibawah naungan kain kisâ.
            Dia membawa pesan dari allah Swt berypa ayat al-Qur’an yang di dalamnya Allah Swt menamakan mereka Ahlulbait (‘pemilik rumah’). Mereka juga dikenal sebagai Ahlulkisâ. []

Dosa-dosa besar dan kecil

(cerita favorit 9)

            Dua orang datang kepada Imam Ja’far Shadiq dan berkata bahwa mereka ingin melakukan tobat untuk dosa-dosa mereka. Orang yang pertama berkata bahwa dia telah melakukan banyak dosa kecil sementara yang kedua berkata bahwa dia telah melakukan dua dosa besar.
            Imam berkata kepada orang yang pertama untuk mengambil satu batu kerikil yang kecil untuk setiap dosa yang telah dia lakukan. Imam berkata kepada orang yang kedua untuk mengambil sebuah batu besar untuk setiap dosa besar yang dia lakukan.
            Tak lama kemudian kedua orang itu datang kembali kepada Imam dengan membawa serta apa yang telah diperintahkan.
            Imam kemudian berkata kepada mereka berdua untuk meletakkan kembali setiap batu pada tempatnya masing-masing.
            Orang yang dengan dua batu besar menemukan kesulitan untuk membawa batu-batu itu kembali ke tempat asalnya, tetapi akhirnya dapat mengatasinya.
            Orang yang dengan banyak kerikil tidak dapat mengingat kembali tempat dia telah mengambil semua batu itu sehingga tidak dapat meletakkan setiap kerikil itu kembali pada tempatnya masing-masing.
            Sangatlah sulit untuk melakukan tobat atas dosa-dosa yang tampak kecil karena kita lupa dan menganggapnya remeh.
            Imam Ali al-Murtadha telah berkata, “Dosa yang paling besar adalah yang dianggap pelakunya (dosa) paling kecil.” []

PERMASALAHAN SYI’AH… (2)

@ TANGAN LURUS DALAM SHALAT
Tuduhan:
Tangan lurus ketika berdiri shalat adalah salah satu bid’ah ciptaan Syiah.  
Jawaban
            Kedua tangan lurus pada waktu berdiri dalam shalat disebut irsâl; sedangkan posisi tangan kanan diatas tangan kiri disebut takattuf, bersedekap. Semua mazhab dalam Islam sepakat tentang tidak adanya kewajiban untuk takattuf. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal tidak wajibnya itu. Kelompok pertama berpendapat bahwa takattuf itu hukumnya sunnah (mustahabbah) pada shalat wajib dan shalat sunnah. Inilah pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali. Menurut al-Nawawi, ini juga pendapat Abu Hurairah, ‘Aisyah, dan sahabat-sahabat lainnya. Seperti ini juga sejumlah tabi’in seperti Sa’id bin Jubayr,  Al-Nakh’i, dan Abu Mujallad. Sealiran dengan ini juga sejumlah fuqaha seperti Sufyan, Ishaq, Abu Tsawr, Dawud dan Jumhur ulama (al-Majmu’ 3:313).
            Kelompok kedua menetapkan boleh (mubah) dalam shalat sunnah, tetapi makruh dalam shalat wajib. Ibn Rusyd meriwayatkan pendapat ini dari Imam Malik (Biyadat al-Mujtahid, 1:137). Menurut al-Nawawi, dari riwayat Abd al-Hakim, Malik menyuruh takattuf; tapi dari riwayat Ibn Qasim, pendapat Malik itu irsâl. Dan inilah yang lebih terkenal (Al-Majmu’, 3:312). Sayyid Muetadha melaporkan dari Malik dan Al-Layts bahwa keduanya berpendapat boleh takattuf karena lamanya berdiri dalam shalat sunnah (Al-Intishar 140).
            Kelompok ketiga menetapkan boleh memilih antara takattuf dan irsâl. Menurut al-Nawawi, inilah pendapat Al-Awza’i. kelompok keempat menetapkan batalnya shalat karena bersedekap. Inilah kesepakatan ulama mazhab Ahlulbait as. Menurut al-Nawawi, Abdullah bin al-Zubayr, Al-Hasan al-Bashri, al-Nakh’i, Ibn Sirin semuanya melarang bersedekap (takattuf) dan menyuruh irsâl.

Berikut ini adalah alasan-alasan Syiah tentang wajibnya irsâl:
Hadis-hadis tentang takattuf.
            Pertama, hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Hazim, dari Sahl bin Sa’ad. Ia berkata; orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan diatas siku tangan kirinya dalam shalat. Kata Hazim; Aku tidak kecuali menisbahkan kepada Nabi saw (Ibn Hajar, Syarh Shahih al-Bukhari 2:224). Kata Ismail, guru Al-Bukhari: “yunmâ dzâlika” (dinisbahkan demikian) dan bukan “yanmi dzâlika” (menisbahkan demikian).
            Ketika Sahl berkata “orang-orang diperintahkan”, kita bertanya siapa yang diperintahkan? Nabi saw atau sahabat-sahabat lainnya? Menurut Ismail, ia dinisbahkan saja kepada Nabi saw. Ibn Hajar mengatakan bahwa kalau sahabat berkata begitu, pastilah yang memerintahkannya adalah Nabi saw. Pertanyaan berikutnya ialah mengapa para sahabat “menyembunyikan” Nabi saw, padahal untuk menjelaskan perintah syara’, mereka pasti lebih terhormat dan lebih meyakinkan kalau mereka berkata: Nabi saw memerintahkan kami. Mereka akan lebih bangga mengatakan apa yang didengarnya langsung dari Nabi saw. Kata Al-Suyuthi: “Para sahabat tidak memastikan itu dari Rasulullah saw karena kehati-hatiannya” (Tadrib al-Rawi 119) Artinya, kuatir bahwa perintah itu bukan berasal dari Nabi saw, walaupun mereka yakin itu dari Nabi saw.
            Menurut Ushul Fiqh, kata “diperintahkan” itu bersifat mujmal. Karena itu menisbahkannya kepada Nabi saw memerlukan dalil lainnya, supaya bisa dijadikan hujjah. Abu Hazim tidak menjelaskan dalilnya. Karena itu, hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis lain yang lebih banyak tentang cara shalat Nabi saw (seperti yang akan disampaikan dibawah). Jika kita memperhatikan hadis Muslim  tentang takattuf, Nabi saw melakukannya bukan karena itu sunnah tetapi karena Nabi saw ingin merapatkan pakaiannya ke tubuhnya.
            Kedua, hadis yang diriwayatkan Muslim dari Wa-il bin Hujur: Ia melihat Nabi saw mengangkat tangannya bertakbir ketika memasuki shalat. Kemudian ia menutupkan pakaiannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ketika ia mau melakukan ruku’ ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya. Kemudian ia mengangkat tangannya untuk bertakbir dan ruku’ (Muslim, 1:382, Bab 5, Kitab al-Shalat).
            Dalam pengertian hadis ini, Nabi saw mengambil ujung-ujung pakaiannya dan menutupkannya ke dadanya. Jadi tangan beliau yang kiri mengambil ujung baju sebelah kiri dan menutupkannya pada tangan sebelah kiri yang memegang ujung pakaiannya juga. Beliau melakukannya karena pertimbangan praktis untuk merapatkan pakaian ke badannya karena kedinginan atau sebab-sebab lainnya.
            Tapi jelas dari masalah penafsiran, dalam sanad hadis Muslim ini ada Hamam. Jika yang dimaksud adalah Hamam bin Yahya, maka Yahya bin al-Qaththan meremehkan hadisnya. Yahya bin Sa’id tidak mau menerima kebanyakan hadis Hamam (Huda al-Sari 1:267). Walaupun Abu Hatim menganggap dia “tsiqat” (terpercaya), dalam kaidah ilmu hadis “yang mencela didahulukan daripada yang memuji”.
            Ketika men-takhrij hadis yang bersumber dari Wa-il bin Hujur, dalam Sunan al-Baihaqi kita menemukan tiga jalan. Pertama melewati Hammam. Kedua melewati Abdullah bin Ja’far. Abdullah bin Ja’far adalah Ibn Najih menurut Ibn Mu’in: laysa bi sya’i. Menurut Al-Nasa’i: ditinggalkan (matruk). Waki’ bila menemukan hadisnya, mengecamnya dan mengatakan bahwa orang sudah sepakat tentang kedho’ifannya (Tahdzib al-Tahdzib 5:174). Ketiga melewati Abdullah bin Raja-I, yang menurut ‘Amr bin ali al-Falas: Ia banyak sekali salahnya dan tashhif (mengubah-ubah kalimat). Bukan Hujjah (huda al-Sari 1:437).
            Ketiga, hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Mas’ud: Ia biasa shalat dengan meletakkan tangan kirinya diatas tangan kanannya. Kemudian ia melihat Nabi saw meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya (Sunan al-Baihaqi 2:44, hadis 2327).
            Kita mengetahui bahwa Abdullah bin Mas’ud termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam. Ia mendapat gelar “orang yang pertama membacakan Al-Qur’an kepada orang kafir setelah Rasulullah saw”. Sangat mengherankan bahwa ia baru belakangan melihat Nabi saw meletakkan tangankanannya diatas tangan kirinya. Tapi di luar masalah penafsiran makna, hadis ini dha’if  karena dalam sanadnya ada Hasyim bin Basyir, yang terkenal melakukan tadlis.
            Marilah kit abaca kembali hadis tentang tatacara Rasulullah saw shalat. Dalam hadis yang dibenarkan oleh para sahabat itu dijelaskan sangat terinci cara shalat Nabi saw. Disitu tidak ada ketentuan dimana harus meletakkan tangan. Tangan seperti anggota badan lainnya, setelah takbir kembali ke tempatnya semula. “… dan ia bertakbir sampai semua anggota badannya menetap pada tempatnya yang tepat” – hatta yaqirra kullu ‘udhwin minhu fi mawadhi’ihi mu’tadilan.
            Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid 1:137 menyatakan: Telah datang riwayat-riwayat kokoh yang meriwayatkan sifat shalat Nabi saw dan tidak diriwayatkan di dalamnya bahwa ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya… dan orang-orang berpendapat bahwa yang wajib itu ialah kembali kepada riwayat-riwayat tersebut yang tidak ada penambahan ini (ketentuan tentang letak tangan), karena riwayat-riwayat tersebut lebih banyak…”

@QUNUT PADA SETIAP SHALAT
Tuduhan:
Di anytara bid’ah yang dilakukan Syiah ialah selalu membaca qunut pada setiap shalat. Qunut dibaca sebelum ruku’.  
Jawaban
            “Di sunnatkan qunut dalam shalat, tetapi para fuqaha berbeda pendapat tentang shalat yang dibacakan di dalamnya qunut. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali: Qunut dilakukan dalam shalat witir sebelum ruku’, menurut Hanafiyyah, sesudah ruku’ menurut Hambali, dan tidak tidak ada ruku’ pada shalat-shalat yang lainnya. Menurut Maliki dan Syafi’i: Qunut dilakukan dalam shalat Subuh sesudah ruku’, tetapi yang afdhal menurut Maliki sebellum ruku’. Menurut Malik dimakruhkan qunut dalam shalat selain Subuh. Disunnahkan juga — menurut Hanafi, Syafi’i, Hambali – qunut pada semua shalat wajib ketika terjadi bencana (nazilah). Tetapi Hambali membatasinya hanya pada shalat Subuh, dan Hanafi membatasinya pada shalat jahar ghrib, Isya, dan subuh)” (Dr. Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1:809).
            Dalam mazhab Ahllulbait as, qunut disunnahkan dibaca pada setiap shalat, baik yang wajib maupun yang sunnah, pada rakaat kedua sebelum ruku’. Mereka berpegang pada perintah al-Qur’an – wa quumu lillahi qaanitiin” Berdirilah untuk Allah dalam keadaan qunut (Al-Baqarah 238) dan hadis dari Imam Musa al-Kadzim as (Al-Tahdzib 2:89; Al-Istibshar 1:338; al-Rasa-il 4:900).
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua fuqaha dari mazhab apa pun sepakat bahwa qunut itu adalah Sunnah Nabi saw. Mereka hanya tidak sepakat mengenali perincian pelaksanaan qunut saja.
            Dibawah ini alas an-alasan (dalil-dalil) yang diambil dari kitab-kitab hadis Ahlussunnah tentang qunut pada setiap shalat dan qunut sebelum ruku’ :
            Qunut pada setiap shalat: Nabi saw pernah qunut satu bulan mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup kemudian meninggalkannya (Muslim 1:466 hadis 675). Semua sepakat bahwa Nabi saw melakukan qunut  pada setiap shalatnya. Ada keterangan bahwa Nabi saw tidak henti-hentinya melakukan qunut pada waktu Subuh sampai meninggal dunia (Sunan Al-Daruquthni 2:39, hadis 9; Sunan al-Baihaqi 2:198); dan ada keterangan juga bahwa ia selalu qunut pada shalat Maghrib (Al-Bukhari ?:?; Sunan al-Baihaqi 2:245). Jadi artinya para sahabat melaporkan qunut Nabi saw bukan hanya shalat Subuh saja. Mereka melaporkan qunut pada Maghrib dan juga pada witir. Dalam hadis dari al-Barra bin Azib diberitakan bahwa “Setiap kali Rasulullah saw shalat yang difardhukan ia selalu qunut di dalamnya” (Sunan al-Daruquthi 2:37, hadis 4).

Qunut sebelum ruku’
            Dari ‘Ashim: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut dan ia berkata: Qunut ada pada (zaman) Rasulullah saw. Aku Tanya: Sebelum atau sesudah ruku’? Ia menjawab: Sebelum ruku’. Aku berkata: Tetapi Fulan memberitahukan kepadaku bahwa engkau berkata sesudah ruku’. Anas berkata: Bohong! Karena Rasulullah saw hanya qunut sesudah ruku’ satu bulan sekali saja (Al-Bukhari 2:14, Bab al-Qunut qabla al-Ruku’ wa ba’duhu). Dalam Muslim, ketika anas ditanya tentang qunut sebelum atau sesudah ruku’, ia menjawab “sebelum ruku’”. Kata ‘Ashim: Tetapi orang-orang mengira bahwa Rasulullah saw berqunut sesudah ruku’ (Muslim, Kitab al-Masajid, hadis 301).

Catatan (JR)
            Sekiranya qunut itu hanya boleh dibacakan pada setiap shalat ketika turun musibah atau bencana (qunut Nazilah), maka orang  Syiah akan tetap menjalankan qunut. Musibah apa lagi yang lebih besar dari perpecahan di antara kaum muslimin, ketika satu kelompok mazhab menyerang kelompok mazhab yang lain. Tengoklah suasana kaum muslimin di dunia sekarang ini. Musibah apa lagi yang lebih besar dari pada pembantaian yang dilakukan Negara-negara adikuasa pada kaum muslimin. []