Senin, 24 Oktober 2011

PERMASALAHAN SYI’AH… (1)

“Di dunia ini semua hal berubah kecuali kecaman terhadap Syiah…
Semua permulaan ada ujungnya kecuali fitnah terhadap Syiah…
Semua vonis harus berdasarkan bukti kecuali terhadap Syiah… “
(Syekh Jawad Mughniyah, Ulama Syiah Lebanon)

Di bagian ini akan mengulas sedikit tentang beberapa tuduhan yang dilontarkan kepada Syiah dan seringkali setiap orang menjadi salah pemahaman.
“SYIAH adalah mazhab yang paling tidak dikenal baik bagi kebanyakan kaum muslim maupun bagi peneliti Islam dari Barat. Untuk memperburuk situasi, banyak orang—sering kali jahil tetapi mengklaim diri sebagai ulama—berceramah atau menulis buku tentang Syiah. Rujukan mereka yang paling utama adalah imajinasi dan prasangka. Motif mereka yang paling akhir ialah meneguhkan fanatisme dan meruntuhkan persaudaraan Islam. Jadi, pembahasan mereka tentang Syiah lebih merupakan tuduhan ketimbang penjelasan.” (Emilia Renita Az_penulis buku ‘40 masalah Syiah’).

@ TAWASSUL: BERDOA KEPADA SELAIN TUHAN
Tuduhan:
Orang Syiah musyrik, karena memohon kepada selain Allah Swt melalui perantara.
Jawaban
Syiah melakukan tawasul karena mengikuti al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an
Al-Maidah: 2: Memerintahkan kita untuk saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan. Di antara saling membantu itu ialah saling mendoakan. Saling mendoakan adalah tawasul.
            Al-Maidah: 35: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah untuk mendekatkan diri kepadaNya.”
            An-Nisa: 64: “Dan sekiranya menzalimi dirinya sendiri mereka datang kepadamu dan memohonkan ampunan Allah Swt, lalu Rasul Allah pun memohonkan ampunan bagi mereka, pastilah mereka mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Dalam Hadis
       Utsman bin Hunaif: “Ada seorang tuna netra yang datang kepada Rasulullah saw dan berkata mohonkanlah kepada Allah Swt agar menyembuhkanku. Nabi saw bersabda, jika engkau menghendaki, aku akan mendoakanmu, tapi jika engkau mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu. Orang itu berkata, doakanlah. Nabi saw  kemudian memerintahkannya berwudlu dengan baik lalu shalat 2 rakaat, dan membaca doa Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantara NabiMu, Muhammad saw, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, dengan perantaramu, aku mencoba kepada Tuhan Allah swt agar mengabulkan hajatku. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku”.
            Pembicaraan sanad hadis mengenai kemantapan dan kebenaran sanad hadis tersebut, tidak perlu lagi dibicarakan karena pemimpin kaum Wahabi sendiri, Ibn Taimiyyah menganggap sanadnya benar, dan menambahkan bahwa yang dimaksud dengan abu Ja’far dalam sanad hadis itu adalah Abu Ja’far Khathmi, seorang perawi yang dapat dipercaya (dalam Musnad Ahmad, nama, Abu Ja’far ditulis sebagai Abu Ja’far Khidmi. Sedang dalam shahib Ibn Majah ditulis Abu Ja’far saja).
            Penulis kontemporer Wahabi, Rifai yang senantiasa berupaya melemparkan keabsahan hadis-hadis yang berkenaan dengan tawasul berkata tentang hadis diatas: “Tidak diragukan lagi, bahwa hadis ini shahih yang sangat dikenal” (Al-Tawassul, Ila haqiqah at-Tawassul 1, 58)
            Bukhari dalam shahihnya meriwayatkan: “Dikala panceklik, Umar ibn Khattab meminta hujan dengan perantaraan Abbas bin Abu Muthalib ra dan berkata Ya Allah dulu kami bertawassul dengan NabiMu saw dan Engkaupun mengirimkan rahmatMu.” (Shahih Bukhari bab Shalat Istisqa cetakan Muhammad Ali Shabih jilid 11 hal 32). []   

@ PEMBACAAN SHALAWAT KEPADA KELUARGA NABI SAW
Tuduhan:
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali (=keluarga Ali).”
            Orang Syiah mengucapkan shalawat kepada Rasulullah saw dan Ali bin Abi Thalib sekaligus seperti terliat dalam shalawat mereka.
Jawaban
            Kata “aali” dalam shalawat itu tidak menunjuk pada Ali atau keluarga Ali. Semua yang mengerti bahasa Arab akan segera mengerti bahwa “aali” (dengan huruf alif, artinya keluarga) bukanlah ‘Ali (dengan ‘ain yang merujuk pada Ali bin Abi Thalib). Kami selalu menambahkan shalawat kepada Nabi dengan shalawat kepada keluarganya.

Dalam Hadis
            Al-Bukhari meriwayatkannya dalam Shahih-nya juz 3 dan Muslim dalam shahih-nya juz 1. Allamah al Qanduzi dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hal 227 menukil dari al Bukhari, Ibn Hajar dalam al Shawa’iq al-Muhriqah pada bab 11, pasal pertama ayat kedua. Mereka semua meriwayatkannya dari Ka’ab bin ‘Ajarah: Ketika ayat ini turun (QS. 33: 6), kami bertanya kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, kami tahu bagaimana mengucapkan salam kepadamu. Tetapi bagaimana kamu mengucapkan shalawat kepada keluargamu? Beliau menjawab, “Ucapkanlah, Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad” (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad).
            Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian bershalawat kepadaku denngan shalawat yang buntung”. Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat yang buntung itu?” beliau menjawab, “Engkau mengucapkan Allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad) lalu kalian diam. Melainkan ucapkanlah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad) [Ibn Hajar meriwayatkan dalam al-Shawa’iq hal 87]. []

@ TAMBAHAN KALIMAT DALAM ADZAN
Tuduhan:
Orang Syiah menambahkan dalam adzannya “Hayya ‘ala Khayril ‘Amal”. Ucapan itu tidak diajarkan Nabi saw dan termasuk bid’ah.  
Jawaban
            “Hayya ‘ala khairil ‘amal” bukan tambahan, tapi kalimat yang diajarkan Nabi saw; tetapi kemudian dihilangkan oleh satu mazhab dalam Islam. Syiah mempertahankan sunnah Nabi saw, dan menjadikannya sebagai syi’ar mazhabnya. Perhatikan dalil-dalil dibawah ini:
           Adzan yang dipraktekkan oleh Ahlussunnah, tanpa “Hayya ‘ala khairil ‘amal” diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah dan Al-Turmudzi. Dikisahkan bahwa kalimat-kalimat adzan itu diperoleh melalui mimpi (Abdullah bin Zaid, atauUmar bin Khattab atau 14 sahabat lainnya dengan riwayat yang saling bertentangan). Selain semua sanadnya ada saja mengandung kelemahan (majhul, dha’if, munkar, munqathi’ dan sebagainya), penetapan besar. Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari 2:62 menulis, “Sesungguhnya sulit menerima penetapan hukum lewat mimpi Abdullah bin Zaid karena mimpi selain Nabi saw tidak bisa menjadi dasar syara’.” (Lihat kemusykilan Adzan ini pada Jalaluddin Rakhmat, Al-Musthafa, hal 87). Dibawah ini disampaikan diantara hadis-hadis tentang “Hayya ‘ala khairil ‘amal” melalui Abdullah bin Umar, Sahl bin Hunayf, Bilal, Abu Mahdzurah, ibn Abi Mahdzurah, Zaid bin Arqam.
            Dari Nafi’, ia berkata: Ibnu ‘Umar kadang-kadang setelah membaca ‘Hayya ‘alal falah” di belakangnya ia membaca “Hayya ‘ala khairil ‘amal” (Sunan al-Baiyhaqi 1;624, hadis 1991).
            Dari Laits bin Sa’ad dari Nafi’: Ibnu Umar tidak pernah beradzan dalam safarnya. Kadang-kadang setelah “Hayya ‘alal Falah” ia mengucapkan “Hayya ‘ala khairil ‘amal” (Lihat sumber diatas).
            Al-Baihaqi meriwayatkan hadis tentang “Hayya ‘ala khairil ‘amal” dalam adzan dari Abu Umamah, dari Sahl bin Hunayf (Sunan Al-Baihaqi1: 425). Ibn Al-Wazir, dari Al-Muhibb al-Thabrani al-Syafi’i dalam kitabnya Ihkam al-Ahkam, menulis, “Sebutan “Hayya ‘ala khairil ‘amal” berasal dari Shadaqah bin Yasar, Abu Umamah, Sahl bin Hunayf; jika ia beradzan ia mengucapkan Hayya ‘ala khairil ‘amal. Dikeluarkan dari Sa’id bin Manshur (Mabadi al-Fiqih al-Islami 38).
            Dari Abdullah bin Muhammad bin Ammar, …dan seterusnya dari Bilal: Bilal beradzan pada waktu Subuh dengan mengucapkan “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Kemudian Nabi saw memerintahkan Bilal untuk mengganti dengan Al-Shalaatu khairun min al-Nawm, sebagai pengganti “hayya ‘ala khairil ‘amal” (Majm’ al-Zawaid 1:330 dari Al-Thabrani dalam Al-Kabir, Mushannaf Abd al-Razaq 1:460 hadis 1787; Sunan al-Baihaqi 1:625 h 1994; Muntakhab al-Kanz hamisy Musnad Ahmad 3:286). Yang ditulis dengan huruf miring jelas ditambahkan para ahli hadis (mudraj), karena Al-Salatu khair min al-Nawm ditambahkan puluhan tahun setelah Nabi saw meninggal dunia (Lihat Muwaththa Malik 46; Sunan al-Daruquthni, Mushannaf Abd al-Razaaq 1:474, 475; Muntakhab al-Kanz 3:278. Disitu disebutkan bahwa “al-shalaatu khair min al-nawm” itu bid’ah, begitu menurut Al-Turmudzi dan Abu Dawud dan lain-lain).
            Muhammad bin Manshur dalam kitabnya Al-Jami’ dengan isnad dari orang-orang yang disukainya dari Abu Mahdzurah, salah seorang muadzdzin Rasulullah saw. Ia berkata; Rasulullah memerintahkan aku mengucapkan dalam adzan “Hayya ‘ala khairil ‘amal” dalam riwayat dari Abd Aziz bin Rafi’ dari Abu Mahdzurah, ia berkata: Ketika aku kecil, berkata kepadaku Nabi saw: Jadikan akhir adzanmu Hayya ‘ala khairil ‘amal (Al-Bihar al-Zukhar 2:192; lihat Mizan al-I’tidal 1:139; Lisan al-Mizan 1:268).
            Diriwayatkan bahwa Zaid bin Arqam mengucapkan dalam adzan “Hayya ‘ala khairil ‘amal” (Lihat al-Imam al-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba’ah 5:283).
            Disamping hadis-hadis di atas, ada banyak lagi hadis rentang Hayya ‘ala khairil ‘amal dari sahabat-sahabat lainnya: Ali bin Abi Thalib, Abu Rafi’, ‘Aqil bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Ali, Al-Husayn bin Ali, Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Ja’far, Anas bin Malik, Ali bin al-Husayn, Zaid bin Ali, dan lain-lain (Baca pengucapan Hayya ‘ala khairil ‘amal sepanjang tarikh Islam pada ali al-Syahristani, Al-Adzan bayn al-Ishalah wa al-Tahrif, Beirut: Muassasah al-A’lami, 2004).  
            Dengan penelitian yang mendalam, Anda akan segera tahu bahwa “Hayya ‘Ala Khairil ‘Amal” adalah sunnah Rasulullah saw yang dijalankan oleh kaum muslimin, terutama pengukut Ahlulbait, sepanjang sejarah. Sementara itu, tidak dicantumkannya “Hayya ‘ala khairil ‘amal” dalam adzan bukan saja pengabaian akan sunnah tetapi juga bid’ah itu sendiri. Camkan! []

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Artikel yang Bagus sekali!
Sangat membantu, terutama buat saya yang awam.

Shalawat..

Posting Komentar